Minggu, 19 April 2009

Sex Pranikah

Dikutip dari:
Mahasiswa : Sam-el Ladh
Dosen : Pdt. Yahya Wijaya, Ph.D.

Pdt. Eka Darmaputera pernah menulis dalam suatu renungan di harian Sinar Harapan , bahwa masalah seks pra nikah adalah suatu masalah yang serius bagi etika Kristen. Bukan saja karenajumlahnya semakin banyak, tetapi terutama karena kegiatan seksual ini -- dengan lambat, tapi pasti kian menahbiskan diri sebagai kegiatan seksual yang ”normal”. Berangkat dari ‘peringatan’ ini, dan juga dari pengamatan secara pribadi mengenai perilaku seks pra nikah ini, saya tertarik untukmengangkat masalah ini dalam makalah akhir semester ini. Dalam makalah ini saya akan mencoba melihat kenyataan perilaku seks pra nikah yang adasekarang ini, seberapa jauh ‘jumlahnya semakin banyak’ itu. Kemudian saya akan mencoba melihatbeberapa pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan masalah itu. Dan akhirnya saya akanmencoba membuat tinjauan etis teologis dari pandangan narasi alkitab mengenai perilaku seks pranikah ini.

  • Perilaku Seks Pra Nikah - Fakta Yang Ada
Kota Yogyakarta pada pertengahan tahun 2002 pernah dihebohkan oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) tentang virginitas mahasiswi di Yogyakarta. Lembaga ini melaporkan telah melakukan survei terhadap 1.660 responden mahasiswi dari 16 perguruan tinggi di Yogyakarta, antara Juli 1999 sampai Juli 2002. Yang menghebohkan adalah hasilnya yang menyatakan bahwa 97,5 persen dari responden mengaku telah kehilanganvirginitasnya .
Sementara itu dalam Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di
Denpasar Juli 2002, Hudi Winarso dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya juga mengemukakan penelitian serupa. Dari angket yang disebarkan pada bulan April 2002 terhadap 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23 tahun, ternyata 40 persen mahasiswa pria telah melakukan hubungan seks pra nikah .
Kemudian sebuah lembaga bernama Synovate Research di tahun 2004 melakukan survei mengenai perilaku seks remaja di empat kota, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Survei ini mengambil 450 responden dari empat kota tersebut, dengan kisaran usia 15 - 24 tahun, kategori masyarakat umum dengan kelas sosial menengah ke atas dan ke bawah. Hasilnya dilaporkan bahwa 44 persen responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18tahun. Sementara 16 persen lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun . Di Bandung juga diberitakan oleh harian Pikiran Rakyat, sedikitnya 38.288 remaja di Kab. Bandung diduga pernah berhubungan intim di luar nikah atau melakukan seks bebas.
Berdasarkan hasil polling LSM Sahabat Anak Remaja (Sahara) terungkap, sekira 20% dari 1.000 remaja di daerah perkotaan Kab. Bandung melakukan seks di luar nikah, sedangkan di pedesaan antara 5%-7% .
Data-data yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian seperti ini mengundang berbagai macam reaksi. Beberapa pakar berpendapat bahwa angka yang diperoleh melalui penelitian itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es, yang kakinya masih terbenam dalam samudera, karena itu data-data ini melahirkan keprihatinan bahwa telah terjadi penurunan kualitas moral dalam masyarakat.
  • Dua Macam Pendekatan - Hukum atau Kesehatan
Di Yogyakarta, hasil survei LSCK ditindaklanjuti oleh Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) dengan menggelar sebuah diskusi. Dalam diskusi itu terekam bahwa untuk
mencegah berkembangnya perilaku seks pra nikah tersebut, pemerintah daerah berniat
mengeluarkan peraturan yang mengatur soal kos-kosan. Pihak peneliti sendiri, Iip Wijayanto dari LSCK, mengemukakan bahwa tujuan penelitian itu adalah untuk menghentikan seks bebas di Yogya. Dia bahkan mengaku sudah siap dengan tiga konsep, yaitu:
pertama "Yogya sebagai kota pelajar", kedua "Dari Yogya kita perangi seks bebas", dan ketiga semboyan "No for free sex, yes for married" .
Sementara itu, Dr. Muhadjir Darwin, peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada (UGM), berpendapat bahwa hal itu tidak efektif untuk menekan perilakuseks sebelum nikah, karena pada dasarnya sulit mengontrol perilaku seks mahasiswa ataumasyarakat di Yogyakarta.
Kalau mau membuat peraturan daerah (perda) arahnya mau apa? Kalau maunya tak ada seks pranikah, saya jaminhal itu tak akan bisa tercapai. Di dunia ini tak ada suatu negara pun yang bisa bebas dari seks pranikah, karena seksitu sesuatu yang human, sesuatu yang natural. Memang harus ada lembaga yang mengatur, tetapi tak akan bisa mencegah secara mutlak .
Dari Bandung, harian Pikiran Rakyat melaporkan reaksi terhadap hasil penelitian LSM Sahara datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung, melalui ketuanya K.H. Yayat Ruchiyat Siradj. Yang menarik adalah menurut Kiai Yayat, perilaku seks pra nikah ini selain harus diantisipasi oleh ulama, masyarakat, dan keluarga, aparat pemerintah dan kepolisian juga perlubergerak untuk menangani masalah ini, sehingga tidak sampai menggejala lebih jauh . Reaksi lain tentang hal ini adalah desakan untuk menerapkan hukum zina sebagai solusi untuk memberantas seks bebas. Argumentasinya yang dikemukakan adalah:
Seks bebas terjadi karena pergaulan bebas dalam lingkungan sistem sekuler yang jauh dari norma agama. Apakah bisa pergaulan bebasnya diberantas? Jelas tidak sebab ideologi, falsafah, paham, sistem atau tatanan kehidupan di negara kita tidak mendukung untuk mewujudkannya. Maka kita upayakan pemberantasan seks bebasnya dengan hukum zina. "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk" (Q.S. Al-Israa':32). Jika seks bebas banyak dilakukan akhir-akhir ini karena dulunya tidak ada penciptaan hukum yang tegas, jadi orang berani melakukannya. Jadi kalau nanti anak-cucu kita berani melakukannya sebab tidak ada hukum yang tegas yang diciptakan sekarang. Jadi, solusi untuk menerapkan hukum zina adalah hal yang tepat dilakukan sejak sekarang.
Dari reaksi-reaksi yang muncul di atas, terlihat bahwa ada pemikiran untuk menyelesaikan
masalah moralitas/etika ini dengan pendekatan hukum. Pemerintah daerah Yogyakarta mau
mengatasinya dengan seperangkat peraturan daerah, dan MUI Kabupatan Bandung dengan
menganjurkan penerapan hukum Islam sebagai hukum positif. Masih dalam tulisan yang sama di harian Pikiran Rakyat, hukum zina yang dianjurkan adalah: Spesimen hukuman zina, misalnya penetapan seratus kali pukulan (cambuk) bagi perawan/perjaka (remaja) yang
disaksikan oleh masyarakat lalu diasingkan/dikurung setahun. Sedangkan bagi pezina yang sudah kawin ditambah rajam. Hukum tersebut berlaku juga bagi pelaku homoseks dan lesbian.
Mengenai aturan hukum zina menurut kaidah hukum Islam saya tidak memiliki kapasitas untuk
memberikan komentar, namun kelihatannya pemikiran ini dilandasi niat untuk memberi efek jera bagi para pelaku seks pra nikah dengan memberi ancaman hukuman yang sangat berat.
Tentang pemakaian pendekatan hukum ini menurut Adeney-Risakotta bisa terjadi ketika hukum sakral (hukum adat, norma-norma agama) menjadi tidak kuat lagi oleh karena perubahan sosial yang terjadi . Kecenderungan perilaku seks pra nikah yang semakin meningkat menunjukkan perubahan sosial tersebut. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk menaikkan status hukum sakral menjadi hukum positif, atau memakai istilah Adeney-Risakotta, hukum sekuler, agar hukum itu kembali mendapat kekuatan untuk diterapkan.
Akan tetapi, masalahnya adalah, masih menurut Adeney-Risakotta, di Indonesia hukum sekuler itu sendiri begitu lemah. Hukum sekuler di Indonesia berbeda dengan di Barat, di mana itu dilihat sebagai suatu garis yang tidak dapat dilanggar. Di Indonesia, hukum sekuler hanyalah salah satu pertimbangan. Oleh karena itu, sejalan dengan keraguan Dr. Muhadjir Darwin dari UGM, yang telah dikutip di depan, penerapan hukum positif untuk menekan perilaku seks pra nikah sulit untuk bisa berhasil, dan malah bisa jadi akan membuatnya terus berkembang secara sembunyi-sembunyi.
Wacana yang lain yang berkembang sebagai reaksi dari hasil-hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan meningkatnya perilaku seks pra nikah adalah wacana seputar kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual (sexually transmitted diseases). Jadi persoalannya bukan pada memberantas perilaku seks pra nikah tersebut dengan hukum, namun melihatnya dari pendekatan kesehatan.
Menghadapi hal ini maka menurutnya pilihannya hanya dua, yaitu safe sex (melakukan seks aman dengan menggunakan kondom) atau no sex (tidak melakukan hubungan seks sama sekali). Namun, fakta menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu untuk menahan diri. Hanya saja kampanye untuk perlindungan diri dengan kondom mendapat tentangan dari kaum agamawan yang menggunakan pendekatan moral. Padahal perilaku seks pra nikah yang tidak dilakukan secara aman sangat rentan terhadap resiko penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS.